Baru-baru ini, dunia sains dan publik Indonesia ramai menyoroti unggahan resmi Oxford University mengenai penemuan Rafflesia hasseltii di Sumatra Barat terutama karena di dalamnya hanya disebut nama peneliti dari Inggris, tanpa menyebut satu pun peneliti atau pemandu lokal asal Indonesia.
Menanggapi hal itu, Anies Baswedan menulis di akun X miliknya: “Dear @UniofOxford, para peneliti Indonesia kita Joko Witono, Septi Andriki, dan Iswandi bukanlah NPC. Sebutkan juga nama mereka.”
Istilah “NPC” (Non-Playable Character) dalam konteks tersebut merujuk pada karakter dalam gim yang pasif atau hanya pelengkap yang digunakan Anies sebagai sindiran bahwa peneliti Indonesia tidak boleh dianggap sebagai pelengkap tak penting dalam narasi ilmiah global.
Mengapa Ini Penting — Bukan Sekadar Nama
Penemuan bunga Rafflesia hasseltii bukanlah hasil satu individu atau satu tim asing saja. Dalam ekspedisi ke hutan hujan Sumatra, tim terdiri dari ilmuwan internasional serta peneliti dan pemandu lokal Indonesia.
Pengabaian kredit terhadap peneliti lokal dianggap oleh banyak pihak sebagai wujud ketidakadilan akademik bahkan sebagai cerminan dari apa yang disebut “kolonialisme akademik,” yaitu praktik di mana kontribusi dari peneliti di negara berkembang sering disamarkan, padahal mereka memegang peranan penting dalam pengumpulan data lapangan.
Dengan tidak mencantumkan nama peneliti asal Indonesia, unggahan tersebut dianggap sebagai penghapusan (erasure) dari sejarah kontribusi ilmiah mereka — sesuatu yang menyakitkan bagi komunitas sains dan konservasi di Indonesia.
Revisi Klaim: Oxford Respons Kritik
Setelah kritik luas — termasuk dari publik dan tokoh seperti Anies Oxford University akhirnya memperbarui postingannya dan mencantumkan nama para peneliti Indonesia yang terlibat: yaitu Joko Witono (BRIN), Septian Andriki (aktivis konservasi), dan Iswandi (pemandu lokal).
Dalam pernyataan perbaikan itu, Oxford berkata bahwa ekspedisi tersebut merupakan kolaborasi antara peneliti internasional dan lokal bahwa kontribusi dari peneliti Indonesia diakui dan dipahami sebagai bagian dari tim.
Pelajaran dari Insiden Ini
1. Etika Kolaborasi Ilmiah Penting
Kesuksesan ekspedisi semacam penemuan Rafflesia tidak akan terjadi tanpa pengetahuan lokal pemandu, peneliti, dan masyarakat sekitar. Mengabaikan nama mereka melemahkan semangat kolaborasi dan menghancurkan kepercayaan.
2. Keadilan Kredit Bagian dari Penghargaan Ilmiah
Kredit ilmiah bukan hanya soal nama di publikasi tapi juga soal pengakuan terhadap kerja keras, risiko, dan kontribusi nyata di lapangan.
3. Kesetaraan dalam Produksi Ilmu Global
Insiden ini menunjukkan bahwa institusi dari negara maju perlu lebih sensitif terhadap dinamika dan kontribusi kolektif dalam riset global — supaya tak terus mengulang pola asimetri (global North vs global South).
4. Peran Tokoh Publik untuk Suara Kolektif
Respons dari tokoh seperti Anies Baswedan membantu menyoroti isu “kredit tidak adil” dan memberi tekanan agar institusi besar berubah, serta mendorong publik dan media untuk memperhatikan etika akademik.
Kesimpulan
Kritikan Anies Baswedan atas sikap awal Oxford University dalam merilis penemuan Rafflesia hasseltii tanpa mencantumkan nama peneliti Indonesia mengingatkan kita bahwa dalam kolaborasi ilmiah global, penghargaan terhadap semua pihak adalah hal mendasar. Insiden ini pun menunjukkan bahwa pengakuan formal nama, peran, dan kontribusi bukanlah hal sepele: tetapi cerminan dari penghormatan, keadilan, dan integritas dalam sains. Semoga ke depan, kolaborasi internasional berjalan dengan lebih adil dan terbuka.